Powered By Blogger

World

World
Koleksi

Selasa, 21 Juni 2011

ISLAM SEBAGAI OBYEK PENELITIAN
Fery Permadi

Selama ini masyarakat sudah mengenal Islam, tetapi belum jelas potret Islam yang telah dikenal tersebut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan oleh Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam yang ditampilkan oleh Fazlur Rahman yang bernuansa historis dan filosofis. Demikian pula, Islam yang ditampilkan oleh pemikir-pemikir dari Iran seperti Ali Syari’ati, Sayyed Husain Nasr, dan Murthadha Muthahhari. Kenyataan tersebut memperlihatkan adanya dinamika internal di kalangan umat Islam untuk menerjemahkan Islam dalam upaya merespon berbagai masalah umat yang mendesak. Titik tolak dan tujuan mereka sama, yakni ingin menunjukkan konstribusi Islam sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan berbagai masalah umat. Selain itu, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Islam merupakan sebuah agama yang dapat dilihat dari sisi mana saja, dan setiap sisinya akan senantiasa memancarkan cahaya yang terang.
Dari berbagai sumber kepustakaan tentang Islam yang ditulis oleh para tokoh tersebut, dapat diketahui bahwa Islam memiliki karakteristik yang khas yang dapat dikenali melalui konsepsinya dalam berbagai bidang, seperti bidang teologi, ibadah, muamalah yang di dalamnya mencakup masalah pendidikan, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, lingkungan hidup, kesehatan, dan sejarah. Menurut Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, obyek yang dikaji dalam dunia Islam, bila dilihat pada tataran keberagaman, Islam dapat diwujudkan pada lima dimensi, yaitu dimensi idiologis, dimensi intelektual, dimensi eksperiansial, dimensi ritualistik dan dimensi konsekuensial.
Pada dimensi indiologis, Islam merupakan konsep keprcayaan terhadap Tuhan dalam hubungan-Nya dengan manusia dan alam. Pada dimensi ini, Islam tampak sebuah konsep yang sarat dengan berbagai aturan. Pada dimensi intelektual, Islam tampak pada sebuah konsep pemikiran keagamaan yang lahir dari kultur yang diakibatkan oleh dinamika pemikiran umat Islam. Pada dimensi eksperensial, Islam dapat dilihat keterlibatan emosional dan sentimentil oleh para pengikutnya dalam melaksanakan ajaran agamanya. Pada dimensi ritualistik, Islam tampak pada pelaksanaan ibadah ritual-formal pemeluknya. Sedangkan pada dimensi yang terakhir, Islam tampak sebagai suatu konsep yang bisa mempengaruhi kehidupan sosial bagi pengikutnya.
Berdasarkan dengan dimensi-dimensi tersebut, maka dalam penelitian ke-Islaman, tidak cukup jika hanya menggunakan satu metode, karena Islam bukan agama yang mono-dimensi. Islam bukan hanya didasari pada intuisi mistik dari manusia, melainkan Islam adalah agama yang universal, yakni segala aspek kehidupan di dunia terakomodir dalam Islam. Penelitian ke-Islaman merupakan suatu keharusan, yaitu meneliti tentang ajaran Islam dari berbagai aspeknya, termasuk normatif dan aktualitasnya. Pengkajian Islam normatif dimaksudkan adalah penelaahan lebih jauh ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi yang berimplikasi pada lahirnya aturan-aturan normatif yang lain, seperti persoalan fikih, teologi, dan tasawuf. Aspek normatif adalah pengkajian Islam atas refleksi keagamaan secara fakultas, agar perkembangan masyarakat muslim semakin maju. Sementara pengkajian non-normatif adalah pengkajian terhadap aspek antropologis, sosiologis, dan historis umat Islam itu sendiri.
Dampak langsung dari gairah atau kesadaran penelitian ke-Islaman adalah penyegaran khazanah intelektualitas dalam Islam dengan pengkajian yang sistematis dan struktur yang berampak pada pencerahan terhadap iklim sportivitas ilmiah dalam Islam. Hal ini berdampak langsung kepada gairah umat Islam untuk kembali mengkaji Alquran dan Hadis Nabi sebagai sumber utama ajaran Islam. Dalam keadaan demikian, Alquran dan Hadis Nabi tidak hanya dipahami sebagai dogma ilahiyah-mabawiyah, tapi dapat dijadikan sebagai sumber teori. Penelitian terhadap Alquran bukan mempertanyakan kebenaran Alquran sebagai wahyu, tetapi mengkaji Alquran akan melahirkan sejumlah bidang. Kajian itu meliputi proses turunnya Alquran, termasuk faktor sosiologis dan kultural masyarakat pada saat Alquran diturunkan. Kajian ini melibatkan ilmu antropologi, sosiologi, dan sejarah.
Demikian halnya dengan penelitian terhadap Hadis Nabi. Riwayat-riwayat hadis yang tersebar dalam berbagai kitab hadis memerlukan penelitian yang sangat serius terhadap sanad dan matan-nya untuk membuktikan bahwa riwayat itu betul-betul berasal dari nabi. Kajian terhadap riwayat-riwayat tersebut membutuhkan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, sosiologi, dan antropologi.
MASA DEPAN I SLAM DI INDONESIA
Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif

Jogjakarta, 18 Pebruari 2009

Sebenarnya dari segi jumlah, tidak ada yang harus dirisaukan tentang masa depan Islam di Indonesia. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat bahwa jumlah umat Islam di negeri ini berada pada angka 88,22%, sebuah persentase yang tinggi sekali. Begitu juga orang lain tidak perlu cemas membaca angka statistik itu, karena dua sayap besar umat Islam, NU dan Muhammadiyah, sudah sejak awal bekerja keras untuk mengembangkan sebuah Islam yang ramah terhadap siapa saja, bahkan terhadap kaum tidak beriman sekalipun, selama semua pihak saling menghormati perbedaan pandangan. Tetapi bencana bisa saja terjadi bila pemeluk agama kehilangan daya nalar, kemudian menghakimi semua orang yang tidak sefaham dengan aliran pemikiran mereka yang monolitik. Contoh dalam berbagai unit peradaban umat manusia tentang sikap memonopoli kebenaran ini tidak sulit untuk dicari. Darah pun sudah banyak tertumpah akibat penghakiman segolongan orang terhadap pihak lain karena perbedaan penafsiran agama atau ideologi.
Dalam sejarah Islam pun, kelompok yang merasa paling sahih dalam keimanannya juga tidak sulit untuk dilacak. Jika sekadar merasa paling benar tanpa menghukum pihak lain, barangkali tidaklah terlalu berbahaya. Bahaya akan muncul bilamana ada orang yang mengatasnamakan Tuhan, lalu menghukum dan bahkan membinasakan keyakinan yang berbeda. Dalam bacaan saya, dalam banyak kasus, al-Qur'an jauh lebih toleran dibandingkan dengan sikap segelintir Muslim yang intoleran terhadap perbedaan. Fenomena semacam ini dapat dijumpai di berbagai negara, baik di negara maju, mau pun di negara yang belum berkembang, tidak saja di dunia Islam. Apa yang biasa dikategorikan sebagai golongan fundamentalis berada dalam kategori ini. Di Amerika misalnya kita mengenal golongan fundamentalis Kristen yang di era Presiden George W. Bush menjadi pendukung utama rezim neo-imperialis ini. Di dunia Islam, secara sporadis sejak beberapa tahun terakhir gejala fundamentalisme ini sangat dirasakan. Yang paling ekstrem di antara mereka mudah terjatuh ke dalam perangkap terorisme. Ada beberapa teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia Islam. Yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai telah sangat menyudutkan Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk "menghibur diri" dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar.
Jika sekadar "menghibur," barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan Muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari. Ini tidak berarti bahwa umat Islam yang menentang cara-cara mereka itu telah larut dalam modernitas. Golongan penentang ini tidak kurang kritikalnya menghadapi arus modern ini, tetapi cara yang ditempuh dikawal oleh kekuatan nalar dan pertimbangan yang jernih, sekalipun tidak selalu berhasil. Teori lain mengatakan bahwa membesarnya gelombang fundamentalisme di berbagai negara Muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara-saudaranya di Palestina, Kashmir, Afghanistan, dan Iraq. Perasaan solider ini sesungguhnya dimiliki oleh seluruh umat Islam sedunia. Tetapi yang membedakan adalah sikap yang ditunjukkan oleh golongan mayoritas yang sejauh mungkin menghindari kekerasan dan tetap mengibarkan panji-panji perdamaiaan, sekalipun peta penderitaan umat di kawasan konflik itu sering sudah tak tertahankan lagi. Jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia yang relatif aman, kemunculan kekuatan fundamentalisme, dari kutub yang lunak sampai ke kutub yang paling ekstrem (terorisme), sesungguhnya berada di luar penalaran.
Kita ambil misal praktik bom bunuh diri sambil membunuh manusia lain (kasus Bali, Marriot, dan lain-lain), sama sekali tidak bisa difahami. Indonesia bukan Palestina, bukan Kashmir, bukan Afghanistan, dan bukan Iraq, tetapi mengapa praktik biadab itu dilakukan di sini? Teori ketiga, khusus untuk Indonesia, maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi yang masih menggurita adalah bukti nyata dari kegaglan itu. Semua orang mengakui kenyataan pahit ini. Namun karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana, maka mereka menempuh jalan pintas bagi tegaknya keadilan: melaksanakan syari'at Islam melalui kekuasaan. Jika secara nasional belum mungkin, maka diupayakan melalui Perda-Perda (Peraturan Daerah). Dibayangkan dengan pelaksanaan syar'ah ini, Tuhan akan meridhai Indonesia. Anehnya, semua kelompok fundamentalis ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya. Fakta ini dengan sendirinya membeberkan satu hal: bagi mereka bentrokan antara teori dan praktik tidak menjadi persoalan. Dalam ungkapan lain, yang terbaca di sini adalah ketidakjujuran dalam berpolitik. Secara teori demokrasi di haramkan, dalam praktik digunakan, demi tercapainya tujuan.
Akhirnya, saya menyertai keprihatinan kelompok-kelompok fundamentalis tentang kondisi Indonesia yang jauh dari keadilan, tetapi cara-cara yang mereka gunakan sama sekali tidak akan semakin mendekatkan negeri ini kepada cita-cita mulia kemerdekaan, malah akan membunuh cita-cita itu di tengah jalan. Masalah Indonesia, bangsa Muslim terbesar di muka bumi, tidak mungkin dipecahkan oleh otak-otak sederhana yang lebih memilih jalan pintas, kadang-kadang dalam bentuk kekerasan. Saya sadar bahwa demokrasi yang sedang dijalankan sekarang ini di Indonesia sama sekali belum sehat, dan jika tidak cepat dibenahi, bisa menjadi sumber malapetaka buat sementara. Tetapi untuk jangka panjang, tidak ada pilihan lain, kecuali melalui sistem demokrasi yang sehat dan kuat, Islam moderat dan inklusif akan tetap membimbing Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan.
M USUH DALAM SELIMUT
KH. Abdurrahman Wahid
Buku yang sedang anda baca ini merupakan hasil penelitian yang berlangsung lebih dari dua tahun dan dilakukan oleh LibForAll Foundation, sebuah institusi non-pemerintah yang memperjuangkan terwujudnya kedamaian, kebebasan, dan toleransi di seluruh dunia yang diilhami oleh warisan tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Secara formal, kami bersama C. Holland Taylor adalah pendiri-bersama LibForAll Foundation, dan bersama-sama dengan KH. A. Mustofa Bisri, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. Nasr Hamid Abu-Zayd, Syeikh Musa Admani, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Dr. Sukardi Rinakit, dan Romo Franz Magnis-Suseno menjadi Penasehat LibForAll Foundation. Dalam kunjungan CEO LibForAll Foundation ke Mesir pada akhir Mei 2008, Syeikh al-Akbar al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi juga menyatakan kesediaannya untuk menasehati LibForAll Foundation dalam usaha menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil-'âlamîn. Dan sebenarnya, siapa pun di seluruh dunia yang berhati baik, berkemauan baik, dan punya perhatian kuat pada usaha-usaha mewujudkan keda-maian, kebebasan, dan toleransi, secara kultural adalah keluarga. Dalam usaha dimaksud, LibForAll Foundation selalu mengutamakan pendekatan spiritual untuk menumbuhkan kesadaran yang mampu mendorong transformasi individual maupun sosial.
Hal ini didasari kenyataan bahwa ketegangan batiniah antara roh dan hawa nafsu berdampak pada aktivitas lahiriah. Bahkan, ketegangan batiniah ini kerap memicu konflik-konflik lahiriah, baik antarindividu maupun sosial. Dalam konteks inilah, sabda Kan- jeng Nabi Muhammad saw. kepada para sahabat, "Raja'nâ min jihâd al-ashghar ilâ jihâd al-akbar" (Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar),1 sepulang dari perang Badr menjadi sangat penting
Dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional; dalam bidang pendidikan dan agama hingga bisnis dan politik; dalam urusan pribadi hingga kelompok, dan sebagainya. Pada kenyataannya, pertentangan antara jiwa-jiwa yang te- nang dengan jiwa-jiwa yang resah ini mewarnai sejarah semua penjuru dunia, antara lain seperti pertentangan Nabi Muhammad saw. dengan kafir-musyrik di Hijaz. Namun satu hal yang unik di Nusantara adalah, sekalipun pertentangan semacam ini terjadi berulang-ulang sejak masa nenek moyang bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan nilai-nilai luhur jiwa-jiwa yang tenang tetap dominan di tanah air kita.
Prinsip "Bhinneka Tunggal Ika" Mpu Tantular misalnya, telah mengilhami para penguasa Nusantara dari jaman Hindu-Budha hingga dewasa ini; dan Sunan Kalijogo -yang terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal- mendidik para penguasa lam yusyrik bi 'ibâdati Rabbihi ahada (dan tidak menyekutukan apa pun dalam ibadah kepada Tuhannya). Jadi dia melakukan sesuatu misalnya, dia berjuang katanya -misalnya- untuk Islam, tapi sebetulnya untuk kepentingan dirinya sendiri, itu sebetulnya sudah menyekutukan Tuhan." "Kamu jangan terjebak godaan dunia... jangan terjebak gebyarnya materi, rayuan perempuan, misalkan, jangan tergoda oleh jabatan, menjadi kita sombong, lupa diri, ...Kamu jangan terjebak oleh jebakan yang kelihatannya untuk Allah, kelihatannya demi rakyat, kelihatannya demi perjuangan, padahal tidak. Itu jebakan yang akan menjerumuskan kita, dikira orang kalau sudah jadi pemimpin, kalau ceramah banyak orang tepuk tangan, orang di mana-mana menghormati, kemudian muncul kesombongan dalam diri kita. Itu jebakan yang akan menjerumuskan kita, itu berarti jebakan dari hawa nafsunya, dan dari kepentingannya. Itu yang disebut al-syirk al-khafy, Musyrik yang tersembunyi, sebenarnya." "Lawan syirik adalah ikhlas... Jadi orang yang musyrik adalah orang yang tidak ikhlas, yang dalam berbagai perilakunya ia melibatkan kepentingan egonya, kepentingan dirinya, kepentingan kelompoknya, dan bukan semata-mata karena Allah.
Jadi ada dualisme kepasrahan." (Secara berurutan, penjelasan Prof. Jalaluddin Rakhmat, Prof. KH. Said Aqil Siraj, dan KH. Masdar F. Mas'udi dalam: Lautan Wahyu: Islam sebagai Rahmatan lil-'Âlamîn, episode 4: "Kaum Beriman," Supervisor Program: KH. A. Mustofa Bisri, ©LibForAll Foundation 2009). pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual. Melalui para muridnya, antara lain Sultan Adiwijoyo, Juru Martani, dan Senopati ing Alogo, Sunan Kalijogo berhasil menyelamatkan dan melestarikan nilai-nilai luhur tersebut yang manfaatnya tetap bisa kita nikmati hingga dewasa ini. Di Indonesia modern pun kita menyaksikan kehadiran jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah) ini -antara lain- dalam proses kelahiran dan tumbuhnya kesadaran kebangsaan kita, khususnya dalam dialog antara Islam dan nasionalisme Indonesia. Me- mang tidak banyak yang tahu salah satu penggalan sejarah konseptual kebangsaan kita.3 Sejak tahun 1919, tiga sepupu secara intensif mulai membicarakan hubungan antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme. Mereka adalah H. O. S. Tjo-kroaminoto, KH. Hasjim Asy'ari, dan KH. Wahab Chasbullah.
Belakangan, menantu Tjokroaminoto, Soekarno yang ketika itu baru berusia 18 tahun, terlibat aktif dalam pertemuan mingguan yang berlangsung bertahun-tahun tersebut. Kesadaran kebangsaan inilah yang diwarisi oleh generasi berikutnya, seperti Abdul Wahid Hasjim (putra KH. Hasjim Asy'ari), KH. A. Kahar Muzakkir dari Yogyakarta (tokoh Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djoyo Sugito (tokoh Ahmadiyah). Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam melainkan mendorong umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami dan sekaligus membolehkan pendirian negara bangsa. Sepuluh tahun kemudian, tokoh-tokoh Muslim Nusantara yang terlibat dalam proses kemerdekaan menerima konsep Negara Pancasila yang disampaikan Soekarno, dan kebanyakan pemimpin organisasi-organisasi Islam ketika itu menerima gagasan Soekarno tersebut. Berdasarkan konsep kebangsaan yang kental dengan nilai-nilai kea-gamaan dan budaya bangsa inilah, pada tanggal 17 Agustus 1945 -atas nama bangsa Indonesia- Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sebuah negara bangsa yang mengakui dan melindungi keragaman budaya, tradisi, dan keagamaan yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Gagasan negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir pengalaman sejarah Nusantara sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang Nusantara yang pernah melahirkan dan mengalami peradaban-peradaban besar Hindu, Budha, dan Islam selama masa kerajaan Sriwijaya, Sailendra, Mataram I, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Aceh, Makasar, Goa, Mataram II, dan lain-lain telah memperkuat kesadaran tentang siginifikansi melestarikan kekayaan dan keragaman budaya dan tradisi bangsa.
Sementara pada sisi yang lain, dialog terus-menerus antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme yang berakar kuat dalam pengalaman bangsa Indonesia, telah menegaskan kesadaran bahwa negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan Sunan Kalijogo, serta keteladanan lain semacamnya, dengan tepat mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Dengan segenap hubungan fluktuatif yang terjadi, semua ini bukanlah sebuah proses yang mudah, ini merupakan fakta historis yang harus kita sadari dan pahami. Beberapa periode sejarah Nusantara berlumur darah akibat konflik yang terjadi -antara lain- atas nama agama.
Para ulama seperti Abikusno Tjokrosujoso, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hassan, dan tokoh-tokoh penting Pendiri Bangsa lainnya, sadar bahwa negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan bukanlah negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan negara bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Para Pendiri Bangsa sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqâshid al-syarî'ah, yaitu kemaslahatan umum (al-mashlahat al-'âm-mah, the common good). Dengan kesadaran demikian mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan menekankan substansinya. Mereka memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan cara demikian, melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya (rahmatan lil-'âlamîn) dalam arti sebenarnya. Dalam konteks ideal Pancasila ini, setiap orang bisa saling membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan duniawi, dan setiap orang bebas beriba-dah untuk meraih kesejahteraan ukhrawi tanpa mengabaikan yang pertama.
Memang ada relasi fluktuatif antara agama (c.q. Islam) dengan nasionalisme (c.q. Pancasila). Ada kelompok yang ingin mendirikan negara Islam melalui konstitusi (misalnya dalam Majlis Konstituante) dan lainnya melalui kekuatan senjata (seperti dalam kasus DI/TII). Namun selalu ada mayoritas bangsa Indonesia (Muslim dan non-Muslim) yang setuju dengan Pancasila dan memperjuangkan gagasan para Pendiri Bangsa. Semua ini menjadi pelajaran sangat berharga bagi kesadaran tentang pentingnya bangunan negara bangsa. Sikap ormas-ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah misalnya, maupun parpol-parpol berhaluan kebangsaan yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk final dan konsensus nasional bangunan kebangsaan kita, bukanlah sikap oportunisme politik melainkan kesadaran sejati yang didasarkan pada realitas historis, budaya, dan tradisi bangsa kita sendiri serta substansi ajaran agama yang kita yakini kebenarannya.
Sikap nasionalis ini juga merupakan suatu bentuk tanggung jawab untuk menjamin masa depan bangsa agar tetap berjalan sesuai dengan budaya dan tradisi Nusantara, dan sesuai pula dengan nilai-nilai substantif ajaran agama yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Sikap para tokoh nasionalis-religius yang berjuang mempertahankan bangunan kebangsaan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini bisa disebut sebagai kehadiran jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah), pribadi-pribadi yang terus berusaha untuk memberi manfaat sebanyak mungkin kepada siapa pun tanpa mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada. Dan dengan cara demikian mereka berjuang keras mewujudkan kasih-sayang (rahmat) bagi semua makhluk. Sikap serupa tidak tampak pada beberapa ormas maupun parpol yang bermunculan menjelang dan setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Mereka mengingatkan kita pada gerakan Darul Islam (DI), karena seperti DI, mereka juga berusaha mengubah negara bangsa menjadi negara agama, mengganti ideologi negara Pancasila dengan Islam versi mereka, atau bahkan menghilangkan NKRI dan menggantinya dengan Khilafah Islamiyah.
Tentang klaim-klaim implisit para aktivis garis keras bahwa mereka sepenuhnya memahami maksud kitab suci, dan karena itu mereka berhak menjadi wakil Allah (khalîfat Allâh) dan menguasai dunia ini untuk memaksa siapa pun mengikuti pemahaman 'sempurna' mereka, sama sekali tidak bisa diterima baik secara teologis maupun politis. Mereka benar bahwa kekuasan hanya milik Allah swt. (lâ hukm illâ li Allâh), tetapi tak seorang pun yang sepenuhnya memahami kekuasaan Allah swt. Karena itu Nabi bersabda, "[K]alian tidak tahu apa sebenarnya hukum Al-lah."4 Ringkasnya, sekalipun didasarkan pada al-Qur'an dan sun-nah, fiqh -yang lazim digunakan sebagai justifikasi teologis kekuasaan oleh mereka- sebenarnya adalah hasil usaha manusia yang terikat dengan tempat, waktu, dan kemampuan penulis fiqh yang bersangkutan. Tidak sadar atau mengabaikan prinsip-prinsip ini, para aktivis garis keras berjuang mengubah Islam dari agama menjadi ideologi.
Pada gilirannya, Islam menjadi dalih dan senjata politik untuk mendiskreditkan dan menyerang siapa pun yang pandangan politik dan pemahaman keagamaannya berbeda dari mereka. Jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini sangat ampuh, karena siapa pun yang melawan mereka akan dituduh melawan Islam. Padahal jelas tidak demikian. Pada saat yang sama, dengan dalih memperjuangkan dan membela Islam, mereka berusaha keras menolak budaya dan tradisi yang selama ini telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia, mereka ingin menggantinya dengan budaya dan tradisi asing dari Timur Tengah, terutama kebiasaan Wahabi-Ikhwanul Muslimin, semata karena mereka tidak mampu membedakan agama dari kultur tempat Islam diwahyukan. Mereka selalu bersikap keras dan tak kenal kompromi seolah-olah dalam Islam tidak ada perintah ishlah, yang ada hanya paksaan dan kekerasan. Karena sikap seperti itu maka mereka populer disebut sebagai kelompok garis keras.
Kita harus sadar bahwa jika Islam diubah menjadi ideologi politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan batasan-batasan ideologis dan platform politik. Pemahaman apa pun yang berbeda, apalagi bertentangan dengan pemahaman mereka, de-ngan mudah akan dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri, karena watak dasar tafsir ideologi memang bersifat menguasai dan menyeragamkan. Dalam bingkai inilah aksi-aksi pangkafiran maupun pemurtadan sering dan mudah dituduhkan terhadap orang atau pihak lain. Perubahan ini dengan jelas mereduksi, mengamputasi, dan mengebiri pesan-pesan luhur Islam dari agama yang penuh dengan kasih sayang dan toleran menjadi seperangkat batasan ideologis yang sempit dan kaku. Pada umumnya aspirasi kelompok-kelompok garis keras di Indonesia dipengaruhi oleh gerakan Islam transnasional dari Timur-Tengah, terutama yang berpaham Wahabi atau Ikhwanul Muslimin, atau gabungan keduanya. Kelompok-kelompok garis keras di Indonesia, termasuk partai politiknya, menyimpan agenda yang berbeda dari ormas-ormas Islam moderat seperti Muhammadiyah, NU, dan partai-partai berhaluan kebangsaan. Dalam beberapa tahun terakhir sejak kemunculannya, kelompok-kelompok garis keras telah "berhasil" mengubah wajah Islam Indonesia mulai menjadi agresif, beringas, intoleran, dan penuh kebencian.5 Padahal, elama ini Islam Indonesia dikenal lembut, toleran dan penuh kedamaian (majalah internasional Newsweek pernah menyebut Islam Indonesia sebagai "Islam with a smiling face").
Kelompok-kelompok garis keras berusaha merebut simpati umat Islam dengan jargon memperjuangkan dan membela Islam, dengan dalih tarbiyah dan dakwah amar ma'rûf nahy munkar. Jargon ini sering memperdaya banyak orang, bahkan mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun, semata karena tidak terbiasa berpikir tentang spiritualitas dan esensi ajaran Islam. Mereka mudah terpancing, terpesona dan tertarik dengan simbol-simbol keagamaan. Sementara kelompok-kelompok garis keras sendiri memahami Islam tanpa mengerti substansi ajaran Islam sebagaimana dipahami oleh para wali, ulama, dan Pendiri Bangsa. Pemahaman mereka tentang Islam yang telah dibingkai oleh batasan-batasan ideologis dan platform politiknya tidak mampu melihat, apalagi memahami, kebenaran yang tidak sesuai dengan batasan-batasan ideologis, tafsir harfiah, atau platform politik mereka. Karena terbatasnya kemampuan memahami inilah maka mereka mudah menuduh kelompok lain yang berbeda dari mereka atau tidak mendukung agenda mereka sebagai kafir atau murtad.
Terkait dengan pengikutnya, ada orang-orang yang bergabung dan mendukung garis keras karena mereka terpesona dan tertarik dengan simbol-simbol kegamaan yang dikampanyekan tokoh-tokoh garis keras. Pada sisi yang lain, ada orang-orang yang memang secara sengaja memperdaya masyarakat dengan meneriakkan simbol-simbol keagamaan demi memuaskan agenda hawa nafsu mereka. Kita harus berusaha mengajak dan mengilhami masyarakat untuk rendah hati, terus belajar dan bersikap terbuka agar bisa memahami spiritualitas dan esensi ajaran Islam, dan menjadi jiwa-jiwa yang tenang. Lebih dari itu, sebagai bangsa kita harus sadar bahwa apa yang para aktivis garis keras lakukan dan perjuangkan sebenarnya bertentangan dengan dan mengancam Pancasila dan UUD 1945, dan bisa menghancurkan NKRI. Aksi-aksi anarkis, pengkafiran, pemurtadan, dan berbagai pembunuhan karakter lainnya yang sering mereka lakukan adalah usaha untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Kami sudah sering dituduh kafir dan murtad, tetapi kami tetap tenang-tenang saja.
Kelompok-kelompok garis keras mengukur kebenaran pemahaman agama secara ideologis dan politis, sementara kami mendasarkan pemahaman dan praktik keagamaan kami pada semangat rahmat dan spiritual yang terbuka. Kami berpedoman pada paham Ahlussunnah wal Jamâ'ah, sementara mereka mewarisi kebiasaan ekstrem Khawârij yang gemar mengkafirkan dan memurtadkan siapa pun yang berbeda dari mereka, kebiasaan buruk yang dipelihara oleh Wahabi dan kaki tangannya. Karena kelompok-kelompok garis keras menganggap setiap Muslim lain yang berbeda dari mereka sebagai kurang Islami, atau bahkan kafir dan murtad, maka mereka melakukan infiltrasi ke masjid-masjid, lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintah maupun swasta, dan ormas-ormas Islam moderat, terutama Muhammadiyah dan NU, untuk mengubahnya menjadi keras dan kaku juga. Mereka mengklaim memperjuangkan dan membela Islam, padahal yang dibela dan diperjuangkan adalah pemahaman yang sempit dalam bingkai ideologis dan platform politik mereka, bukan Islam itu sendiri. Mereka berusaha keras menguasai Muhammadiyah dan NU karena keduanya merupakan ormas Islam yang kuat dan terbanyak pengikutnya.
Selain itu, kelompok-kelompok ini menganggap Muhammadiyah dan NU sebagai penghalang utama pencapaian agenda politik mereka, karena keduanya sudah lama memperjuangkan substansi nilai-nilai Islam, bukan formalisasi Islam dalam bentuk negara maupun penerapan syariat sebagai hukum positif. Infiltrasi kelompok garis keras ini telah menyebabkan kegaduhan dalam tubuh ormas-ormas Islam besar tersebut. Dalam konteks inilah kami ingat pada pertarungan tanpa henti dalam diri manusia (insân shaghîr), yakni pertarungan antara jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah) melawan hawa nafsu (al-nafs al-lawwâmah), atau pertarungan antara Pandawa melawan Kurawa. Sementara yang pertama berusaha mewujudkan kedamaian dan ketenangan, maka yang kedua selalu membuat kegaduhan, keributan, dan kekacauan. Gerakan garis keras transnasional dan kaki tangannya di Indonesia sebenarnya telah lama melakukan infiltrasi ke Muhammadiyah. Dalam Muktamar Muhammadiyah pada bulan Juli 2005 di Malang, para agen kelompok-kelompok garis keras, termasuk kader-kader PKS dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), mendominasi banyak forum dan berhasil memilih beberapa simpatisan gerakan garis keras menjadi ketua PP. Muhammadiyah.
Namun demikian, baru setelah Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan mudik ke desa Sen-dang Ayu, Lampung, masalah infiltrasi ini menjadi kontroversi besar dan terbuka sampai tingkat internasional. Masjid Muhammadiyah di desa kecil Sendang Ayu -yang dulunya damai dan tenang- menjadi ribut karena dimasuki PKS yang membawa isu-isu politik ke dalam masjid, gemar mengkafirkan orang lain, dan menghujat kelompok lain, termasuk Muhammadiyah sendiri. Prof. Munir kemudian memberi penjelasan kepada masyarakat tentang cara Muhammadiyah mengatasi perbedaan pendapat, dan karena itu masyarakat tidak lagi membiarkan orang PKS memberi khotbah di masjid mereka. Dia lalu menuliskan keprihatinannya dalam Suara Muhammadiyah.8 Artikel ini menyulut diskusi serius tentang infiltrasi garis keras di lingkungan Muhammadiyah yang sudah terjadi di banyak tempat, dengan cara-cara yang halus maupun kasar hingga pemaksaan.
Artikel Prof. Munir mengilhami Farid Setiawan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membicarakan infiltrasi garis keras ke dalam Muhammadiyah secara lebih luas dalam dua artikel di Suara Muhammadiyah. Dalam yang pertama, "Ahmad Dahlan Menangis (Tanggapan terhadap Tulisan Abdul Munir Mulkhan),"9 Farid mendesak agar Muhammadiyah segera mengamputasi virus kanker yang, menurut dia, sudah masuk kategori stadium empat. Karena jika diam saja, "tidak tertutup kemungkinan ke depan Muhammadiyah hanya memiliki usia sesuai dengan umur para pimpinannya sekarang. Dan juga tidak tertutup kemungkinan jika Alm. KH. Ahmad Dahlan dapat bangkit dari liang kuburnya akan terseok dan menangis meratapi kondisi yang telah menimpa kader dan anggota Muhammadiyah"10 yang sedang direbut oleh kelompok-kelompok garis keras. Dalam artikelnya yang kedua, "Tiga Upaya Mu'allimin dan Mu'allimat," Farid mengungkapkan bahwa "produk pola kaderisasi yang dilakukan 'virus tarbiyah'11 membentuk diri serta jiwa para kadernya menjadi seorang yang berpemahaman Islam yang ekstrem dan radikal. Dan pola kaderisasi tersebut sudah menyebar ke berbagai penjuru Muhammadiyah.
Hal ini menyebabkan kekecewaan yang cukup tinggi di kalangan warga dan Pimpinan Muhammadiyah. Putra-putri mereka yang diharapkan menjadi kader penggerak Muhammadiyah malah bisa berbalik memusuhi Muhammadiyah." Menyadari betapa jauh dan dalam infiltrasi virus tarbiyah ini, Farid mengusulkan tiga langkah untuk menyelamatkan Muhammadiyah. Pertama adalah membubarkan sekolah-sekolah kader Muhammadiyah, karena virus tarbiyah merusaknya sedemikian rupa; kedua, merombak sistem, kurikulum dan juga seluruh pengurus, guru, sampai dengan musyrif dan musyrifah yang terlibat dalam gerakan ideologi non Muhammadiyah dan kepentingan politik lain; ketiga, memberdayakan seluruh organisasi otonom (ortom) di lingkungan Muhammadiyah. Artikel Munir dan Farid menimbulkan kontroversi dan po-lemik keras antara pimpinan Muhammadiyah yang setuju dan tidak. Salah satu keprihatinan utama mereka yang setuju adalah bahwa institusi, fasilitas, anggota dan sumber-sumber daya Muhammadiyah telah digunakan kelompok-kelompok garis keras untuk selain kepentingan dan tujuan Muhammadiyah. Di tengah panasnya polemik mengenai gerakan virus tarbiyah, salah seorang Ketua PP. Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, mengklarifikasi isu-isu dimaksud dalam sebuah buku tipis yang berjudul Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah?
Kurang dari tiga bulan setelah buku tersebut terbit, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 untuk "menyelamatkan Muhammadiyah dari berbagai tindakan yang merugikan Persyarikatan" dan membebaskannya "dari pengaruh, misi, infiltrasi, dan kepentingan partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partai politik bersayap dakwah" karena telah memperalat ormas itu untuk tujuan politik mereka yang bertentangan dengan visi-misi luhur Muhammadiyah sebagai organisasi Islam moderat : "...Muhammadiyah pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak serta keabsahan untuk bebas dari segala campur tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun yang dapat mengganggu keutuhan serta kelangsungan gerakannya" (Konsideran poin 4). "Segenap anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis bahwa seluruh partai politik di negeri ini, termasuk partai politik yang mengklaim diri atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar-benar partai politik. Setiap partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi partai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah Muhammadiyah dan harus membebaskan diri dari, serta tidak menghimpitkan diri dengan misi, kepentingan, kegiatan, dan tujuan partai politik tersebut" (Keputusan poin 3).
Keputusan ini dapat dipahami, karena pada kenyataannya PKS tidak hanya "menimbulkan masalah dan konflik dengan sesama dan dalam tubuh umat Islam yang lain, termasuk dalam Muhammadiyah,"16 tapi menurut para ahli politik juga merupakan ancaman yang lebih besar dibandingkan Jemaah Islamiyah (JI) terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Menurut seorang ahli politik dan garis keras Indonesia, Sadanand Dhume, "Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dari JI. Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip pengorganisasiannya, yang dilaksanakan dengan sistem sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin.... Bedanya, JI bersifat revolusioner sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya, JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang. Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang terus menjalar untuk memperjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah dan suara demi suara.... Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan memutuskan apakah masa depannya akan sama dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain, atau ikut gerakan yang berorientasi ke masa lalu dengan busana jubah fundamentalisme keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan menentukan masa depan Indonesia."
Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh studi yang dipaparkan dalam buku ini, sekalipun SKPP tersebut telah diterbitkan pada bulan Desember 2006, hingga kini belum bisa diimplementasikan secara efektif. Gerakan-gerakan Islam transnasional (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir) dan kaki tangannya di Indon-sia sudah melakukan infiltrasi jauh ke dalam Muhammadiyah dan mematrikan hubungan dengan para ekstremis yang sudah lama ada di dalamnya. Keduanya terus aktif merekrut para anggota dan pemimpin Muhammadiyah lain untuk ikut aliran ekstrem, seperti yang terjadi saat Cabang Nasyiatul Aisyiyah (NA) di Bantul masuk PKS secara serentak (en masse). Sementara Farid Setiawan prihatin bahwa mungkin Muhammadiyah hanya akan mempunyai usia sesuai dengan umur para pengurusnya, gerakan garis keras justru terus berusaha merebut Muhammadiyah untuk menggunakannya sebagai kaki tangan mereka berikutnya dengan umur yang panjang.
Banyak tokoh moderat Muhammadiyah prihatin bahwa garis keras bisa mendominasi Muktamar Muhammadiyah 2010, karena aktivis garis keras semakin kuat dan banyak. Persis karena infiltrasi yang semakin kuat inilah, tokoh-tokoh moderat Muhammadiyah menganggap situasi semakin berbahaya, baik bagi Muhammadiyah sendiri maupun bangsa Indonesia. Kita harus bersikap jujur dan terbuka serta berterus terang dalam menghadapi semua masalah yang ada, agar apa pun yang kita lakukan bisa menjadi pelajaran bagi semua umat Islam dan mampu mendewasakan mereka dalam beragama dan berbangsa. Salah satu temuan yang sangat mengejutkan para peneliti lapangan adalah fenomena rangkap anggota atau dual membership, terutama antara Muhammadiyah dan garis keras, bahkan tim peneliti lapangan memperkirakan bahwa sampai 75% pemimpin garis keras yang diwawancarai punya ikatan dengan Muhammadi-yah. Selain terhadap Muhammadiyah, penyusupan juga terjadi secara sistematis terhadap NU. Realitas fungsi strategis masjid mendorong kelompok-kelompok garis keras terus berusaha merebut dan menguasai masjid dengan segala cara yang mungkin, termasuk yang tak pernah terpikirkan kecuali oleh penyusup itu sendiri.
KH. Mu'adz Thahir, Ketua PCNU Pati, Jawa Tengah, menceritakan tentang kelompok garis keras berhasil masuk ke masjid-masjid NU dengan memberikan cleaning service gratis. Awalnya, sekelompok anak muda datang membersihkan masjid secara suka rela, demikian berulang-ulang. Tertarik dengan kesungguhan mereka, takmir memberinya kesempatan beradzan, lalu melibatkannya sebagai anggota takmir masjid. Dengan pandai dan cekatan mereka melakukan tugas-tugas itu. Tentu saja karena mereka memang agen yang khusus menyusup untuk mengambil alih masjid. Setelah posisinya semakin kuat, mereka mulai mengundang teman-temannya bergabung dalam struktur takmir, dan akhirnya menentukan siapa yang menjadi imam, khatib, dan mengisi pengajian dan yang tidak boleh. Bahkan, menentukan apa yang boleh dan harus disampaikan, dan apa yang tidak boleh. Secara perlahan tapi pasti, masjid jatuh ke tangan kelompok garis keras sehingga tokoh setempat yang biasa memberi pengajian dan khotbah di masjid tersebut kehilangan kesempatan mengajarkan Islam kepada jamaahnya, bahkan kehilangan masjid dan jamaahnya, kecuali jika bersedia menerima dan mengikuti ideologi keras mereka. Kasus di Pati ini hanya salah satu dari sejumlah kasus penyerobotan masjid yang sering dilakukan di lingkungan Nahdliyin.
Jika kasus ini digambarkan dalam sebuah film, penonton akan berpikir bahwa ini hasil imaginasi sutradara. Tapi sebenarnya ini adalah manifestasi ideologi, dana, dan sistem gerakan Islam transnasional dan kaki tangannya di Indonesia yang terus bergerak untuk menguasai negeri kita. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penyerobot masjid NU adalah kelompok PKS dan HTI. Setelah menyadari banyak masjid dan jamaahnya diserobot oleh kelompok-kelompok garis keras, NU mulai melakukan konsolidasi dengan menata kembali organisasinya, antara lain, di masjid-masjid. PBNU menyatakan dengan tegas bahwa gerakan Islam transnasional seperti al-Qaidah, Ikhwanul Muslimin (yang di sini direpresentasikan oleh PKS-red.), dan Hizbut Tahrir adalah gerakan politik yang berbahaya karena mengancam paham Ahlussunnah wal Jamâ'ah, dan berpotensi memecah-belah bangsa.18 Kemampuan mereka berpura-pura bisa menerima paham dan tradisi NU juga membuat mereka sangat berbahaya karena bisa menyusup kapan saja dan ke mana saja. Sementara terkait dengan isu khilafah yang diperjuangkan HTI, Majlis Bahtsul Masa'il memutuskan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki rujukan teologis, baik di dalam al-Qur'an maupun hadits.19 Walaupun di beberapa tempat NU telah berhasil mengusir kelompok garis keras, namun di banyak tempat upaya penyusupan dan penyerobotan masjid dan jamaah NU terus dilakukan.
Secara umum, sebagaimana ditunjukkan penelitian ini, penyusupan garis keras jauh lebih gencar daripada upaya NU untuk mengusirnya. Jika ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin bahwa NU akan kehilangan presentase signifikan jumlah jamaah dan masjid-masjidnya, dan berubah menjadi kurang spiritul dan lebih keras. Penyusupan garis keras di lingkungan NU, dan kegagalan ormas terbesar dunia ini menghentikan infiltrasinya ke pemerintahan, MUI dan bidang-bidang strategis lain secara umum di negara ini, salah satu sebabnya terjadi karena fenomena "kyai materi" yang tersebar luas. "Kyai-kyai materi" lebih mengutamakan kepentingan pribadinya daripada kepentingan jamaah dan jam'iyah NU serta negara. Puluhan juta jamaah NU yang terkonsentrasi di desa-desa dan daerah-daerah tertentu, adalah kelompok pemilih terbesar (the largest single group of voters) di Indonesia. Suara mereka bisa menen-tukan siapa yang akan terpilih untuk naik ke kursi DPRD, DPR, Bupati, Gubernur dan Presiden. Realitas ini mendorong banyak parpol tergoda untuk memanipulasi NU dan memanfaatkan hubungan dengan kyai-kyai materi demi kepentingan politik mereka. Karena sifat dasar manusia, ada kyai-kyai yang merindukan amplop atau kedudukan politik kemudian maju untuk menjadi pengurus NU di tingkat cabang, wilayah, atau pusat, sebagai jembatan untuk memanfaatkan dan dimanfaatkan oleh parpol-parpol dan politisi tertentu.
Pada saat yang sama, banyak kyai-kyai spiritual yang mundur dari arena penuh pamrih dan kepentingan pribadi tersebut dan hanya berbagi ilmu dengan orang-orang yang datang tanpa pamrih untuk mendekati Tuhan, bukan kedudukan. Dengan jumlah anggota sekitar empat puluh juta, NU -bersama Muhammadiyah- betul-betul bisa menjadi soko guru yang mampu untuk tetap menyangga bangunan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, untuk bisa memenuhi amanah tersebut, NU harus melakukan revitalisasi spiritual dan kembali ke nilai-nilai utamanya. Dengan cara demikian, para ulama bisa membimbing yang berkuasa dan tidak membiarkan dirinya diperalat oleh mereka. Nenek moyang kita meyakini hal ini sebagai dharma manusia, dan karena alasan itulah wayang kulit selalu menggambarkan raja-raja bersikap hormat dan tunduk kepada para resi, dan bukan sebaliknya. Dewasa ini, kultur wayang yang khas Indonesia dan penuh nilai-nilai luhur sudah mulai tersisih oleh kultur asing. Adopsi kultur asing secara tidak cerdas akan membuat bangsa Indonesia kehilangan jatidirinya sebagai bangsa. Hal ini bisa dilihat -antara lain dalam kasus yang terjadi di Cairo pada awal tahun 2004. Saat itu salah seorang Ketua PBNU diundang menyampaikan paper dalam forum Pendidikan dan Bahtsul Masa'il Islam Emansipatoris bersama Prof. Dr. Hassan Hanafi dan Dr. Youhanna Qaltah.
Sehari sebelum paper disampaikan, Presiden Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir dan teman-temannya masuk ke hotel Sonesta tempat acara akan dilaksanakan dan mengancam Ketua PBNU dimaksud menyajikan papernya. Mereka mengancam, jika larangannya tidak diindahkan, apa pun akan dilakukan untuk menghentikan, termasuk pembunuhan. "Kalau Bapak masih bersikeras, saya sendiri yang akan membunuh Bapak," ancam Limra Zainuddin, Presiden PPMI.20 Setelah diselidiki, konon para mahasiswa tadi adalah para aktivis PK (PKS) di Cairo. Sebagai Muslim, mahasiswa itu seharusnya bersikap tawâdlu' (rendah hati), menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda (laisa minnâ man lam yukrim kibâranâ wa lam yarham shighâranâ). Namun semua ini tidak terjadi karena tidak adanya pemahaman dan internalisasi ajaran Islam yang penuh spiritualitas, dan mereka telah mengadopsi kultur asing secara tidak cerdas. Dua hal ini bisa membuat siapa pun mudah terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang sempit dan kaku. Siapa pun yang tidak mempunyai pemahaman yang mendalam tentang Islam, khususnya tentang hakikat dan ma'rifat, akan melihat bahwa apa yang disampaikan kelompok-kelompok garis keras sama belaka seperti yang dipahami oleh kebanyakan umat Islam. Mereka menggunakan bahasa yang sama dengan umat Islam pada umumnya, seperti dakwah, amar ma'rûf nahy munkar atau Islam rahmatan lil-'âlamîn, tapi sebenarnya mereka memahaminya secara berbeda.
Di tangan mereka, amar ma'rûf nahy munkar telah dijadikan legitimasi untuk melakukan pemaksaan, kekerasan, dan penyerangan terhadap siapa pun yang berbeda. Mereka berdalih memperjuangkan al-ma'rûf dan menolak al-munkar setiap kali melakukan aksi-aksi kekerasan atau pun mendiskreditkan orang atau pihak lain. Sementara konsep rahmatan lil'âlamîn digunakan sebagai dalih formalisasi Islam, memaksa pihak lain menyetujui tafsir mereka, dan menuduh siapa pun yang berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka sebagai menolak konsep rahmatan lil-'âlamîn, sebelum akhirnya dicap murtad dan kafir. Padahal, sebenarnya semangat dasar dakwah adalah memberi informasi dan mengajak, dan Islam menjamin kebebasan dalam beragama (lâ ikrâh fi al-dîn [QS. al-Baqarah, 2: 256]).23 Di sini kita melihat kontradiksi mendasar antara aktivitas kelompok-kelompok garis keras dengan ajaran Islam yang penuh kasih sayang, toleran, dan terbuka. Penggunaan bahasa yang sama ini membuat mereka menjadi sangat berbahaya, karena dengan bahasa yang sama mereka mudah mengecoh banyak umat Islam dan mudah pula menyusup ke mana-mana dan kapan saja.
Dengan strategi demikian, ditambah militansi yang tinggi dan dukungan dana yang kuat dari luar dan dalam negeri, kelompok-kelompok garis keras ini telah menyusup seperti itu akan semakin mekar dan berekspansi secara sistematik, yang di kemudian hari baru dirasakan sebagai masalah serius tetapi keadaan sudah tidak dapat dicegah dan dikendalikan karena telah meluas sebagai gerakan yang dianut oleh banyak orang. Daya infiltrasi gerakan ideologis memang berlangsung tersistem dan meluas, yang sering tidak disadari oleh banyak pihak," (Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? Cet. Ke-5 [Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007, h. 59). dan berusaha mempengaruhi mayoritas umat Islam untuk mengikuti paham mereka. Umat Islam dan pemerintah selama ini telah terkecoh dan/atau membiarkan aktivitas kelompok-kelompok garis keras sehingga mereka semakin besar dan kuat dan semakin mudah memaksakan agenda-agendanya, bukan saja kepada ormas-ormas Islam besar tetapi juga kepada pemerintah, partai politik, media massa, dunia bisnis, dan lembaga-lembaga pendidikan.
Sikap militan dan klaim-klaim kebenaran yang dilakukan kelompok-kelompok garis keras memang tak jarang membuat mayoritas umat Islam, termasuk politisi oportunis, bingung berhadapan dengan mereka, karena penolakan kemudian akan dicap sebagai penentangan terhadap syariat Islam, padahal tidak demikian yang sebenarnya. Maka tidak heran jika banyak otoritas pemerintah dan partai-partai politik oportunis mau saja mengikuti dikte kelompok garis keras, misalnya dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) Syariat yang inkonstitusional. Padahal, itu adalah "Perda fiqh" yang tidak lagi sepenuhnya membawa pesan dan ajaran syari'ah, dan muatannya bersifat intoleran dan melanggar hak-hak sipil serta hak-hak minoritas karena diturunkan dari pemahaman fiqh yang sempit dan terikat, di samping juga tidak merefleksikan esensi ajaran agama yang penuh spiritualitas, toleransi, dan kasih sayang kepada sesama manusia. Ringkasnya, para politisi oportunis yang bekerjasama dengan partai atau kelompok-kelompok garis keras sangat berbahaya juga. Mereka ikut menjerumuskan negara kita ke arah jurang perpecahan dan kehancuran. Mereka tidak memperhatikan, dan bahkan mengorbankan, masa depan bangsa yang multi-agama dan multi-etnik. Sepertinya mereka hanya mementingkan ambisi pribadi demi melanggengkan kekuasaan dan meraih kekayaan.
Gerakan garis keras terdiri dari kelompok-keompok yang saling mendukung dalam mencapai agenda bersama mereka, baik di luar maupun di dalam institusi pemerintahan negara kita. Ancaman yang sangat jelas adalah usaha mengidentifikasi Islam dengan ideologi Wahabi/Ikhwanul Muslimin serta usaha untuk melenyapkan budaya dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan budaya dan tradisi asing yang bernuansa Wahabi tapi diklaim sebagai budaya dan tradisi Islam. Bagian manapun dari kedua bahaya tersebut, atau keduanya, hanya akan menempatkan bangsa Indonesia di bawah ketiak jaringan ideologi global Wahabi atau Ikhwanul Muslimin. Dan yang paling memprihatinkan, sudah ada infiltrasi ke dalam institusi pemerintah yang sedang digunakan untuk mencapai tujuan ini. Agen-agen garis keras juga melakukan infiltrasi ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan sudah dibilang, MUI kini telah menjadi bungker dari organisasi dan gerakan fundamentalis dan subversif di Indonesia.24 Lembaga semi pemerintah yang didirikan oleh rezim Orde Baru untuk mengontrol umat Islam itu, kini telah berada dalam genggaman garis keras dan berbalik mendikte/mengontrol pemerintah. Maka tidak heran jika fatwa-fatwa yang lahir dari MUI bersifat kontra produktif dan memicu kontroversi, semisal fatwa pengharaman sekularisme, pluralisme, liberalisme dan vonis sesat terhadap kelompok-kelompok tertentu di masyarakat yang telah menyebabkan aksi-aksi kekerasan atas nama Islam.
Berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain yang menghancurkan dan memberangus orang lain yang dinyatakan sesat oleh MUI, dan dukungan pengurus MUI kepada mereka yang melakukan aksi-aksi kekerasan terkait, mengkonfirmasi pernyataan bahwa MUI telah memainkan peran kunci dalam gerakan-gerakan garis keras di Indonesia. Saat ini ada anggota MUI dari Hizbut Tahrir Indonesia, padahal HTI jelas-jelas mencita-citakan khilafah Islamiyah yang secara ideologis bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Rendahnya perhatian dan keprihatinan terhadap fenomena garis keras tidak hanya mengenai ideologi, gerakan, dan infiltrasi mereka. Arus dana Wahabi yang tidak hanya membiayai terorisme tetapi juga penyebaran ideologi dalam usaha wahabisasi global juga nyaris luput dari perhatian publik.25 Selama ini, arus dana Wahabi ke Indonesia tidak mendapat perhatian publik secara serius, padahal dari sinilah fenomena infiltrasi paham garis keras memperoleh dukungan dan dorongan yang luar biasa kuat sehingga menjadi bisnis yang menguntungkan banyak agennya. Ada orang-orang yang sadar bahwa petrodollar Wahabi yang sangat besar jumlahnya masuk ke Indonesia, namun cukup sulit untuk membuktikannya di lapangan karena pihak yang menerima sangat sensitif atas isu ini dan menolak membicarakannya.
Sepertinya, penolakan ini dilakukan karena agen garis keras malu jika diketahui bahwa mereka telah menjual agama, malu jika diketahui mengabdi pada tujuan Wahabi, dan memang untuk menyembunyikan infiltrasi Wahabi/Ikhwanul Muslimin terhadap Islam Indonesia. Pada sisi yang lain, badan negara yang bertanggung jawab mengawasi aliran keluar-masuk dana di Indonesia juga tidak mengumumkan hal tersebut meskipun sebenarnya ada para pejabat dan pihak yang bertanggung jawab atas keamanan negara mengaku sangat prihatin dengan fenomena ini. meyakinkan memaparkan aliran dana Wahabi dalam usaha-usaha wahabisasi global dan aksi-aksi terorisme internasional yang dilakukan atas nama agama. Dalam konflik Bosnia misalnya, dengan dalih membela Muslim Bosnia dari ethnic cleansing, Wahabi mengambil kesempatan untuk menyebarkan ideologinya dengan membangun infrastruktur pendidikan dan peribadatan. Wahabi menggunakan pendidikan (tarbiyah) dan peribadatan (ubûdiyah) sebagai camouflage ideologis untuk menyebarkan paham keagamaan mereka yang kaku dan sempit. Sedangkan kasus WTC sudah jelas siapa dalang di balik tragedi tersebut. (Stephen Sulaiman Schwartz (2002). The Two Faces of Islam: Sa'ud Fundamentalism and Its Role in Terrorism. New York: Doubleday (diterbitkan dalam bahasa Indonesia: Dua Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, Jakarta: LibForAll Foundation, the Wahid Institute, Center for Islamic Pluralism, dan Blantika).
Sebagai misal, sudah merupakan rahasia umum di kalangan para ahli bahwa melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang bertindak sebagai wakilnya di Indonesia, Rabithath al-'Alam al-Islami menyediakan dana yang luar biasa besar untuk gerakan-gerakan radikal di Indonesia.26 Berbagai aktivitas dakwah kampus atau lazim disebut Lembaga Dakwah Kampus (LDK), yang menggagas gerakan tarbiyah, yang kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menikmati dana Arab Saudi tersebut dan sekaligus menyebarkan virus tarbiyah di Indonesia. Di Kabupaten Magelang, peneliti kami mendapat informasi dari mantan pengurus Muhammadiyah salah satu kecamatan di Magelang bahwa PKS sedang mencari masjid-masjid yang hendak direnovasi, atau daerah-daerah yang membutuhkan masjid baru. Secara terbuka, aktivis PKS yang bertanggung jawab atas proyek ini mengutarakan kepada mantan pengurus Muhammadiyah dimaksud bahwa dana untuk semua itu diperoleh dari Arab Saudi. Jika masjid hendak direnovasi atau dibangun, penduduk setempat hanya diminta untuk mendukung PKS dalam setiap pemilihan. Kata dia, "Tahun 2008 ini sudah ada 11 yang akan dibangun atau direnovasi dengan dana Saudi." Hampir semua jama'ah masjid di Magelang yang diserobot oleh PKS melalui strategi ini adalah warga Nahdliyin.27 Jika di satu kabupaten saja ada 11 masjid yang dikerjakan, bayangkan berapa jumlah uang Wahabi yang digunakan untuk membangun masjid-masjid di seluruh Indonesa dengan motif politik seperti ini? Setelah calon PKS menang dalam Pilgub Jawa Barat pada bulan Juli 2008, salah seorang Ketua NU memberitahu peneliti kami bahwa hal tersebut ditandai oleh keberhasilan PKS merebut banyak masjid NU dan para jama'ahnya.
Walaupun Ketua NU dimaksud terkejut dengan kejadian tersebut, sebenarnya keberhasilan PKS merebut masjid dan jamaah NU tidak mengherankan. Tentu saja ideologi yang didukung dana asing dengan jumlah yang luar biasa besar dan dipakai secara sistematis bisa menyusup ke mana-mana dan mengalahkan oposisi yang tidak terorganisasi. Atau dengan kata lain yang sering dipakai oleh para ulama, al-haqq bi lâ nizhâmin qad yaghlib al-bâthil bi nizhâmin (kebenaran yang tidak terorganisasi bisa dikalahkan kebatilan yang terorganisasi). Para agen garis keras sering berteriak bahwa orang asing, yayasan-yayasan, dan pemerintah dari Barat menggunakan uang mereka untuk menghancurkan Islam di Indonesia, dan menuding ada konspirasi Zionis/Nasrani di belakangnya. Pada kenyataannya, pemerintah dan yayasan-yayasan Barat seperti Ford Foundation dan the Asia Foundation mempublikasikan program-program yang dilakukannya secara terbuka, sehingga publik bisa mengetahui apa yang sebenarnya mereka lakukan dan berapa biaya yang dikeluarkan untuknya.28 Walaupun dana LibForAll Foundation sangat se-dikit dan kebanyakan pembina, penasehat, dan pengurusnya orang Indonesia asli, ia juga melaporkan program-program yang dilakukannya secara terbuka dan transparan.
Hal ini sangat berbeda dari gerakan asing Wahabi atau Ikhwanul Muslimin dan kaki tangannya di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa, sementara para agen garis keras berteriak bahwa orang asing datang ke Indonesia membawa uang yang banyak untuk menghancurkan Islam... tentu itu benar, karena orang asing itu adalah aktivis gerakan transnasional dari Timur Tengah yang menggunakan petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak ada. Dengan balutan jubah dan jenggot Arab yang ditampilkan, yang oleh beberapa pihak telah dipandang lebih tampak seperti preman berjubah, mereka ingin menunjukkan seolah-olah pandangan ekstrem yang mereka teriakkan dan paksakan memang benar-benar merupakan pesan Islam yang harus diperjuangkan. Padahal, mereka merusak agama Islam dan bertanggung jawab atas banyak kekerasan yang mereka lakukan atas nama Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Dan kita sebagai umat Islam harus menanggung malu atas perbuatan mereka. Karena itu, alasan utama melawan gerakan garis keras adalah untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah mereka nodai dan sekaligus -pada saat yang sama- untuk menyelamatkan Pancasila dan NKRI.
Jika mayoritas moderat melawan kelompok garis keras dengan tegas, kita akan mengembalikan suasana beragama di Indonesia menjadi moderat, dan kelompok garis keras dewasa ini akan gagal lagi seperti semua nenek moyang ideologis mereka di tanah air kita, yang mewakili kehadiran al-nafs al-lawwâmah. Kemenangan melawan mereka akan mengembalikan keluhuran ajaran Islam sebagai rahmatan lil-'âlamîn, dan ini merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia. Studi ini kami lakukan dan publikasikan untuk membangkitkan kesadaran seluruh komponen bangsa, khususnya para elit dan media massa, tentang bahaya ideologi dan paham garis keras yang dibawa ke tanah air oleh gerakan transnasional Timur Tengah dan tumbuh seperti jamur di musim hujan dalam era reformasi kita. Juga, sebagai seruan untuk melestarikan Pancasila yang merefleksikan esensi syari'ah dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil-'âlamîn yang sejati. Dalam Bab V, studi ini merekomendasikan langkah-langkah strategis untuk melestarikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan menegakkan warisan luhur tradisi, budaya dan spiritualitas bangsa Indonesia, antara lain dengan:
• mengajak dan mengilhami masyarakat dan para elit untuk bersikap terbuka, rendah hati, dan terus belajar agar bisa memahami spiritualitas dan esensi ajaran agama, dan menjadi jiwa-jiwa yang tenang;
• menghentikan dan memutus -dengan cara-cara damai dan bertanggung jawab- mata rantai penyebaran paham dan ideologi garis keras melalui pendidikan (dalam arti kata yang seluas-luasnya) yang mencerahkan, serta mengajarkan dan mengamalkan pesan-pesan luhur agama Islam yang mampu menumbuhkan kesadaran sebagai hamba Tuhan yang rendah hati, toleran dan damai.
Bekerjasama, saling mengingatkan tentang kebenaran (wa tawâshau bil-haqq) dan untuk selalu bersabar (wa tawâshau bil-shabr), menjadi kunci penting dalam hal ini. Kita harus tetap santun, sabar, toleran, dan terbuka dalam usaha-usaha melestarikan visi luhur nenek moyang dan Pendiri Bangsa. Tujuan mulia hendaknya tidak dinodai dengan usaha-usaha kotor, kebencian, maupun aksi-aksi kekerasan. Tujuan luhur harus dicapai dengan cara-cara yang benar, tegas, bijaksana dan bertanggung jawab, yang jauh dari arogansi, pemaksaan dan semacamnya. Kita pantas mengingat nasehat Syeikh Ibn 'Athaillah al-Sakan- dari dalam Hikam karyanya: "Janganlah bersahabat dengan siapapun yang perilakunya tidak membangkitkan gairahmu mendekati Allah dan kata-katanya tidak menunjukkanmu kepada-Nya" (lâ tash-hab man lâ yunhidluka ilâ Allah hâluhu, wa la yahdîka ilâ Allâh maqâluhu).
Orang yang merasa paling mengerti Islam, penuh kebencian kepada makhluk Allah yang tidak sejalan dengan mereka, serta merasa sebagai yang paling benar dan karena itu mengklaim berhak menjadi khalifah-Nya untuk mengatur semua orang-pasti perbuatan dan kata-katanya tidak akan membawa kita kepada Tuhan. Cita-cita mereka tentang negara Islam hanya ilusi. Negara Islam yang sebenarnya tidak terdapat dalam konstruksi pemerintahan, tetapi dalam kalbu yang terbuka kepada Allah swt. dan kepada sesama makhluk-Nya. Kebenaran dan kepalsuan sudah jelas. Garis keras ingin memaksa semua rakyat Indonesia tunduk kepada paham mareka yang ekstrem dan kaku. Catatan sejarah bangsa kita -Babad Tanah Jawi, Perang Padri, Pemberontakan DI, dan lain-lain- menunjukkan bahwa jiwa-jiwa yang resah akan terus mendorong bangsa kita ke jurang kehancuran sampai mereka betul-betul berkuasa, atau kita menghentikannya seperti berkali-kali telah dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tenang, nenek moyang kita. Saat ini kitalah yang memilih masa depan bangsa. Jakarta, 8 Maret 2009

MASJID TUA DIJADIKAN PERPUSTAKAAN

MASJID TUA DIJADIKAN PERPUSTKAAN
Oleh : Fery Permadi

A. PENDAHULUAN

Iklan pendidikan gratis yang ditayangkan berbagai stasiun televisi swasta ternyata tidak melegakan dada para orang tua siswa. Bahkan iklan yang mulai ditayangkan sejak bulan April lalu menuai protes keras dari berbagai pihak. Protes itu terkait tiga hal, yaitu ; faktanya pendidikan tidak gratis, fungsi BOS yang tidak efektif karena APBD sejumlah daerah terbatas, dan munculnya stigma dari masyarakat bahwa pendidikan gratis akan berdampak negatif pada kualitas pendidikan itu sendiri. Kondisi pendidikan di Indonesia yang carut marut ini, diperparah dengan rendahnya minat membaca dari masyarakatnya. Hal ini bisa diidentifikasi dari minimnya antusias masyarakat untuk mendatangi perpustakaan terdekat. Dewasa ini, masyarakat kita telah terjerumus ke dalam budaya hidup konsumtif dan hedonistik, sehingga hidup dan kehidupannya terperangkap dalam stagnasi intelektual.
Pendidikan gratis yang pelaksanaanyan setengah hati bukan jalan keluar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Diperlukan perubahan cara berpikir dan tindakan dari masing-masing pihak. Mengoptimalkan peran wadah atau lembaga kemasyarakatan dan keagamaan (perpustakaan masjid) serta memaksimalkan fungsinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, merupakan sebuah solusi konkrit yang mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat.

B. LATAR BELAKANG

Fakta sejarah membuktikan, fungsi masjid di zaman Nabi Muhammad SAW bukan saja sebagai pusat kegiatan ibadah yang bersifat ubudiah, tetapi juga merupakan pusat kegiatan muamalah, baik yang bersifat politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya maupun pertahanan dan keamanan. Dalam proses sejarah pengembangan dan syiar agama Islam di Indonesia, fungsi masjid dan kegiatan pemerintahan serta kehidupan masyarakat sangat berkaitan erat. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya bangunan masjid yang bersebelahan dengan pusat pemerintahan dan alun-alun sebagai pusat aktifitas rakyat. Akan tetapi, masjid yang ada pada saat ini hanya berkisar pada tempat rutinitas ibadah mahdah saja. Sedikit sekali masjid yang memaksimalkan peran dan fungsinya untuk kemajuan jama’ah dan lingkungannnya. Bahkan, yang sangat mengerikan, muncul image di mata masyarakat bahwa masjid dewasa ini dijadikan “sarang” untuk pembinaan dan pelatihan para teroris. Sehingga pada akhirnya minat masyarakat untuk memakmurkan masjid menjadi terkikis. Minimnya perhatian pemerintah, kurangnya tenaga profesional untuk mengurus perpustakaan masjid, “wajah” perpustakaan yang tidak terurus, dan rendahnya antusias masyarakat terhadap perpustakaan masjid, merupakan masalah yang harus dipecahkan bersama-sama. Oleh karena itu, sebagai lambang agama yang memiliki fungsi vital bagi pencerahan spiritual dan peningkatan intelektual serta pengembangan kesalehan sosial, maka masjid harus dikembalikan pada fungsinya semula. Salah satu aspek yang perlu ditonjolkan dari potensi masjid adalah peran dan fungsinya sebagai “kawah candradimukanya” generasi Islam untuk menambah wawasan dan pengetahuan sekaligus pengembangan potensi mereka. Sehingga cahaya Islam yang telah redup bisa bersinar lagi dan mampu menjadi mercusuar peradaban dan kebudayaan dunia.
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengoptimalkan Peran Masjid Dalam Mencerdaskan Kehidupan Masyarakat.
2. Membangun Budaya Membaca Masyarakat yang Tinggi.
3. Agar mengetahui, dulu masjid tidak hanya dijadikan tempat untuk beribadah, tetapi lebih dari itu, tetapi dengan tujuan yang baik.
D. LANDASAN TEORI
1. Program perpustakaan masjid telah digagas pertama kali oleh Pusat Perpustakaan Islam Indonesia (PPII) di masjid Istiqlal Jakarta pada tahun 1974.
2. Kemudian pada tanggal 18 Mei 1983 di Jakarta didirikan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Organisasi ini merupakan forum komunikasi, konsultasi dan kerjasama antar pesantren dalam usaha mengembangkan diri dan lingkungannya.
3. Selanjutnya program ini didukung dan dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren sejak tahun 2003 sampai sekarang.
E. PEMBAHASAN
MASJID PADA ZAMAN RASULULLAH SAW
Masjid di masa Rasulullah saw bukan hanya sebagai tempat penyaluran emosi religius semata ia telah dijadikan pusat aktivitas umat. Hal-hal yg dapat direkam sejarah tentang fungsi masjid di antaranya
1. Tempat latihan perang. Rasulullah saw mengizinkan ‘Aisyah menyaksikan dari belakang beliau orang-orang Habasyah berlatih menggunakan tombak mereka di Masjid Rasulullah pada hari raya.
2. Balai pengobatan tentara muslim yg terluka. Sa’d bin Mu’adz terluka ketika perang Khandaq maka Rasulullah mendirikan kemah di masjid.
3. Tempat tinggal sahabat yg dirawat.
4. Tempat menerima tamu. Ketika utusan kaum Tsaqif datang kepada Nabi saw beliau menyuruh sahabatnya untuk membuat kemah sebagai tempat perjamuan mereka.
5. Tempat penahanan tawanan perang. Tsumamah bin Utsalah seorang tawanan perang dari Bani Hanifah diikat di salah satu tiang masjid sebelum perkaranya diputuskan.
6. Pengadilan. Rasulullah saw menggunakan masjid sebagai tempat penyelesaian perselisihan di antara para sahabatnya.
Selain hal-hal di atas masjid juga merupakan tempat bernaungnya orang asing musafir dan tunawisma. Di masjid mereka mendapatkan makan minum pakaian dan kebutuhan lainnya. Di masjid Rasulullah ` menyediakan pekerjaan bagi penganggur mengajari yg tidak tahu menolong orang miskin mengajari tentang kesehatan dan kemasyarakatan menginformasikan perkara yg dibutuhkan umat menerima utusan suku-suku dan negara-negara menyiapkan tentara dan mengutus para da’i ke pelosok-pelosok negeri. Masjid Rasulullah saw adalah masjid yg berasaskan taqwa. Maka jadilah masjid tersebut sebuah tempat menimba ilmu menyucikan jiwa dan raga. Menjadi tempat yg memberikan arti tujuan hidup dan cara-cara meraihnya. Menjadi tempat yg mendahulukan praktek kerja nyata sebelum teori. Sebuah masjid yg telah mengangkat esensi kemanusiaan manusia sebagai hamba terbaik di muka bumi.
Melemahnya Fungsi Masjid Saat ini sangat sulit mendapatkan masjid yg difungsikan secara ideal menurut sunnah Rasulullah saw. Secara umum ada dua tipe kecenderungan penyimpangan dalam pengelolaan masjid-masjid zaman sekarang. Pertama pengelolaan masjid secara konvensional. Gerak dan ruang lingkup masjid dibatasi pada dimensi-dimesi vertikal saja sedang dimensi-dimensi horizontal kemasyarakatan dijauhkan dari masjid . Indikasi tipe pengelolaan masjid jenis ini adl masjid tidak digunakan kecuali utk shalat jamaah setelah itu masjid dikunci rapat-rapat. Bahkan terkadang jamaah pun hanya tiga waktu; Maghrib Isya’ dan Shubuh. Tipe lainnya adl pengelolaan masjid yg melewati batasan syara’. Biasanya mereka berdalih utk memberi penekanan pada fungsi sosial masjid tetapi mereka kebablasan. Maka diselenggarakanlah berbagai acara menyimpang di masjid . Misalnya pesta pernikahan dgn pentas musik atau tarian perayaan hari-hari besar Islam dgn ragam acara yg tak pantas diselenggarakan di masjid dan sebagainya. Mereka lbh mengutamakan dimensi sosial -yang ironinya menabrak syari’at Islam- dan tidak mengabaikan fungsi masjid sebagai sarana ibadah dalam arti luas.
Belum lagi tiap masjid akan mempunyai masalah tersendiri yg berbeda dari masjid lainnya. Misalnya masjid kurang terurus jarangnya pengurus dan jamaah sekitarnya yg shalat ke masjid terjadinya perselisihan antar pengurus dalam menentukan kebijaksanaan masjid yg tidak lagi buka 24 jam dan lain sebagainya. Nampaknya faktor internallah yg menjadi penyebab utama terbengkalainya rumah-rumah Allah tersebut. Mengembalikan Risalah Masjid Jumlah masjid di Indonesia pada saat ini sekitar 600.000 buah. Jika umat Islam berjumlah sekitar 160 juta jiwa rata-rata tiap masjid membawahi sekitar 267 jamaah. Ini adl sebuah potensi luar biasa jika dikelola dgn baik.
Untuk mengembalikan dan menunaikan risalah masjid seperti dahulu-kalau memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Modal utamanya adl niat yg ikhlas krn Allah kesungguhan dalam bekerja kemauan dalam berusaha serta mau menghadapi tantangan dan ganjalan yg datang dari dalam maupun dari luar. Secara umum Allah telah memberikan beberapa kriteria yg amat mendasar yg harus dimiliki para pemakmur masjid demi tercapainya risalah masjid. “Sesungguhnya yg memakmurkan masjid-masjid hanyalah orang-orang yg beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan shalat menunaikan zakat dan tidak takut selain kepada Allah maka merekalah orang-orang yg diharapkan termasuk orang-orang yg mendapat petunjuk“.
Merupakan satu langkah mundur jika kepeng-urusan masjid diserahkan kepada orang-orang yg tidak tergolong dalam ayat di atas. Karena itu menggali dan mengkaji kembali perjalanan sejarah masjid-masjid pada masa Rasulullah ` dan generasi pertama umat Islam adl jalan terbaik utk merevitalisasi fungsi masjid. Selanjutnya tidak memilih para pengurus masjid kecuali orang yg dikenal krn ketaqwaan dan pengabdiannya kepada Islam. Ramainya jamaah barometer umum makmurnya sebuah masjid Setiap pengurus masjid hendaknya memulai dalam mengembalikan fungsi masjid dgn menggalakkan kegiatan shalat jamaah lima waktu. Hal itu misalnya dgn terlebih dahulu memahamkan pentingnya shalat berjamaah.
Ibnu Mas’udz berkata “… Dan tidaklah seorang laki-laki berwudhu kemudian ia membaikkan wudhunya lalu menuju ke masjid di antara masjid-masjid ini kecuali Allah menulis tiap langkah yg ia langkahkan satu kebaikan untuknya dan Allah meninggikannya satu derajat serta menghapuskan satu keburukannya karenanya. Dan sesungguhnya kita telah menyaksikan bahwa tidaklah meninggalkan kecuali seorang munafik yg tampak jelas kemunafikannya. Dan sesungguhnya dahulu ada seorang laki-laki yg dipapah oleh dua orang kemudian ia diberdirikan di dalam shaf .” Dari sini lalu dirutinkan kegiatan ta’lim dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya sehingga lambat laun masjid kembali menjadi pusat pembinaan masyarakat Islam.”.
DILIHAT DARI KEMASLAHATANNYA.
Masjid bukan sekadar tempat melakukan ibadah ritual semata. Pada zaman Rasulullah, masjid juga mempunyai banyak fungsi demi kemaslahatan umat. Masjid juga dibangun tak jauh dari lokasi aktivitas sosial umat. Masjid di samping tempat menyelesaikan berbagai persoalan umat juga menjadi pusat pemberdayaan masyarakat. Masjid digunakan sebagai tempat membangun ekonomi dan kesejahteraan melalui baitulmal, dari masjid dikembangkan berbagai kegiatan yang mengarah pada terwujudnya masyarakat madani. Semangat ini pula yang ditekankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mersmikan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) di Semarang, bulan lalu. Menurut Presiden, masjid selain tempat untuk menunaikan ibadah salat juga berfungsi sosial dan dapat didayagunakan memberantas kemiskinan, kebodohan, dan kedangkalan iman. Semangat itu pula yang ditangkap Saifullah Yusuf dan jajarannya untuk memberdayakan masjid demi kemakmuran umat.
PERAN DAN FUNGSI MASJID DALAM ISLAM

Kata "masjid" dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali dalam Al-Quranul Karim. Berasal dari akar kata: sajada-yasjudu-sujudan, yang secara etimologis berarti tunduk, patuh dengan mengakui segala kekurangan, kelemahan dihadapan Yang Maha Kuasa dan Sempurna. Rasulullah SAW berkata dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim: “Yang paling dekat keadaan salah seorang diantara kamu dari Tuhannya adalah ketika ia sujud.” Jika sujud adalah situasi dan posisi seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya, maka masjid (nama tempat) secara bahasa berarti: tempat atau wahana seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta`ala (taqarrub). Taqarrub adalah merupakan misi/sasaran inti dari ibadah. Maka, masjid secara etimologis adalah tempat untuk mendekatkan diri pada Allah Ta`ala, disamping ia juga adalah sebagai pusat ibadah, baik mahdhah maupun ghairu mahdhah.
Dengan pendekatan kebahasaan tersebut kita dapat merumuskan bahwa masjid secara terminologis adalah: suatu badan (institusi) yang diperuntukkan sebagai pusat ibadah dari orang-orang mukmin, dimana sentral kegiatan mereka berpusat disana, mulai dari kegiatan menghambakan diri kepada Allah Ta`ala sampai kepada perjuangan hidup yang berdimensi dunia semata. Dari sinilah dapat kita memahami bahwa sebutan masjid, sesungguhnya orientasi fungsinya harus lebih menonjol ketimbang orientasi fisik bangunannya seperti firman Allah Ta`ala dalam surat Al-Isra' dimana tatkala Allah Ta`alamenerangkan peristiwa Isra' nabi Muhammad SAW disebut dari masjid Al-Haram ke masjid Al-Aqsa, padahal secara fisik masjid yang disebutkan belum ada seperti yang dapat kita saksikan sekarang.Salah satu keistimewaan dari syariat Muhammad SAW dibanding nabi lainnya, adalah "seluruh bumi dapat dijadikan masjid". Berangkat dari pengertian-pengertian tadi, kita dapat memahami betapa sentralnya peran masjid di tengah-tengah umat Islam, dia menjadi pusat aktifitas dan kegiatan mereka, baik dalam bentuk ibadah khusus (ritual) maupun ibadah umum (sosial) dan hal-hal ini telah dicontohkan sendiri oleh Rasulullah SAW sejak di masjid Quba sampai di masjid Nabawi di Madinah. Allah berfirman dalam Al-Quran: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu kepunyaan Allah Ta`ala, maka janganlah kamu menyeru seseorang beserta-Nya.” (Q.S. Al-Jin (72):18).
Barangkali berangkat dari ayat inilah, maka muncul sebutan Baitullah (rumah Allah) untuk menyebut masjid. Tentu saja dalam arti kiasan (majazi) bukan berarti secara fisik Allah Ta`alabertempat tinggal di masjid, karena Dia tidak terikat ruang dan waktu. Mengingat artinya adalah kiasan, maka pengertiannya bisa banyak: rumah tempat memohon rahmat Allah, rumah tempat memperoleh rahmat Allah Ta`ala, rumah tempat meminta kepada Allah Ta`ala, dan sebagainya sejauh yang dapat dikandung oleh pengertian peran dan fungsi rumah.
Minimal ada dua konsekuensi logis dari sebutan mesjid sebagai bait Allah Ta`ala:
a. Tidak boleh ada orang, baik individu maupun kelompok yang mengklaim bahwa masjid adalah milik mereka. Karena itu tanah masjid statusnya harus menjadi tanah wakaf, yaitu tanah yang dipindahkan kepemilikannya dari manusia menjadi hak milik Allah Ta`ala.
b. Masjid harus dibangun diatas dasar tauhid dan takwa, sehingga karenanya pantangan utama dan pertama dari peran masjid adalah menjauhkan daripadanya hal-hal yang berbau syirik. Firman Allah dalam Al-Quran: “Sesungguhnya masjid itu dibangun diatas takwa” (Q.S. At-Taubah (9):108). Dalam hadits kita temukan sabda Rasulullah SAW: “Masjid itu rumah tiap-tiap orang beriman.” Yang dimaksud dengan masjid rumah setiap orang mukmin ialah mereka sebagai pemegang amanat dari pemilik mutlaknya yaitu Allah Ta`ala, sehingga mereka itulah yang harus bertanggung jawab terhadap : pengadaannya, pendiriannya, perawatannya , ta'mirnya, pengembangannya, dan pendayagunaannya.
Dari dua sumber syar'i (Allah Ta`ala dan Rasulullah SAW) tentang sebutan masjid dengan mempergunakan kata bait yang berarti rumah, maka pilihan tersebut pasti mengandung makna yang sangat dalam, paling tidak yang dapat kita kemukakan sebagai berikut:
a. Rumah adalah untuk tempat tinggal, tentu bukan untuk sementara, karena itu masjid adalah akan menjadi tempat tinggal yang membangunnya di syurga. (Hadits Nabawi)
b. Rumah adalah tempat berlindung dari bahaya yang mungkin akan membinasakan penghuninya, demikian halnya masjid akan dapat menyelamatkan manusia dari bahaya syirik, maksiat, kebodohan, dan kemiskinan. Tentu saja hal ini akan tercapai kalau masjid sudah difungsikan sesuai tuntunan Islam menjawab tuntutan zaman.
c. Rumah adalah tempat berteduh dari berganti-gantinya cuaca alam, maka demikian pula masjid, dia akan menjadi tempat berteduh dari pengaruh-pengaruh yang negatif terhadap kaum muslimin sebagai penghuninya.
d. Rumah adalah tempat terbina dan tumbuh suburnya kasih sayang diantara penghuni rumah itu, demikian pula masjid adalah tempat terbinanya persaudaraan dan ukhuwah Islamiyah bagi keluarga muslimin penghuninya.
e. Rumah adalah tempat menyusun rencana, tempat start untuk berangkat bekerja dan bertugas dan tempat kembali mengevaluasi hasil yang dicapai, demikian pula masjid, dia harus berfungsi sebagai tempat musyawarah keluarga muslimin, dari sana mereka berangkat berjihad dan berdakwah, dan kesana hasilnya dievaluasi untuk selanjutnya disusun kembali program berikutnya.
f. Rumah adalah tempat leburnya status-status sosial penghuninya yang diperoleh diluar rumah, demikian halnya masjid menjadi tempat leburnya status-status sosial antara jendral dengan kopral, pejabat dengan rakyat, konglomerat dengan yang melarat, melalui ikatan ukhuwah Islamiyah, disana tidak boleh lagi ada sekat-sekat birokrasi yang lazim menjadi pembeda antara si angkuh dan si rendah hati.
g.Rumah adalah tempat berhimpunnya kepentingan yang kadang-kadang berbenturan antara penghuni yang satu dengan lainnya, tetapi harus tetap rukun dengan pimpinan kepala rumah tangga, demikian halnya masjid tempat berhimpunnya berbagai kepentingan jamaahnya. Namun harus tetap harmonis, penuh toleransi, keterbukaan berkat kebijakan imam sang kepala rumah tangga muslimin disitu.
Dari pendekatan sebuatan bait saja, sudah dapat kita bayangkan betapa besar dan strategisnya peran dan fungsi masjid di tengah masyarakat Islam, pendek kata ia menjadi pusat rumah tangga muslimin untuk segala kemaslahatan hidupnya baik dunia maupun akhirat.
Pembinaan masjid meliputi tiga bidang :
a. Idarah, yakni bidang manajemen mulai dari sumber daya manusia sampai kepada perangkat lunak dan keras manajemennya.
b. 'Imarah, yakni bidang pemakmuran masjid berupa kegiatan-kegiatan pelayanan umat atau jamaah, baik yang berkaitan dengan ibadah khusus atau ibadah umum. Dalam Al-Quran Allah Ta`alaberfirman: “Sesungguhnya yang dapat memakmurkan masjid-masjid Allah itu hanyalah:orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari yang akhir orang-orang yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat dia tidak takut melainkan hanya kepada Allah, maka mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. At-Taubah (9):18). Menurut hemat kita, wallahu a'lam, ayat diatas mengisyaratkan bahwa yang dapat memakmurkan masjid itu hanyalah, orang yang beriman kepada Allah Ta`aladan hari akhir, ini menyangkut aspek aqidah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyangkut aspek syariah, sedangkan tidak takut selain kepada Allah Ta`ala, ini adalah aspek akhlak. Dengan demikian, makmur atau tidaknya sebuah masjid, adalah cerminan dari kekuatan aqidah, syariah, dan akhlak jamaah pendukungnya.
Dari ayat diatas kita dapat memahami bahwa, ta'mir yang berkaitan dengan kegiatan masjid harus bertitik tolak dari aqidah, yaitu tauhid, tidak ada syirik, dan ikhlas semata karena Allah Ta`ala, mewujudkan syariah, baik ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayat, serta selalu menjunjung tinggi al-akhlakul karimah. Perlu kita garisbawahi bahwa firman Allah Ta`aladiatas menggunakan kata "innama" (hanya), yang dalam 'ilmul ma'ani disebut adawat al-hashr (kata untuk menentukan hanya itu saja, diluar itu tidak bisa), ini menunjukkan bahwa tiga pilar diatas menjadi syarat mutlak untuk makmurnya sebuah masjid.
c. Ri'ayah, yaitu yang menyangkut dengan legalitas bangunan, arsitektur, kebersihan, keindahan, dan segala macam yang berkaitan dengan pembangunan dan perawatan. Kebanyakan yang terjadi di kalangan umat Islam dewasa ini khususnya di Indonesia, membangun masjid lebih hanya sebatas bidang fisiknya saja, sementara masalah manajemen, pemakmuran, serta perawatan luput dari perhatian kebanyakan orang, sehingga terjadilah kesenjangan amat lebar antara ajaran dan pengamalannya. Wallahu a'lam bish-shawab.
MENGOPTIMALKAN PERAN DAN FUNGSI REMAJA MASJID
Perpustakaan masjid yang ada di Indonesia tidak memiliki tenaga profesional, sehingga kualitas kinerjanya tidak maksimal. Sumber daya manusia untuk digunakan sebagai tenaga ahli di perpustakaan masjid sangat minim sekali. Hal ini, dikarenakan minimnya anggaran untuk mengadakan workshop atau pelatihan mengenai peningkatan kualitas pengelola literatur perpustakaan masjid. Mengoptimalkan peran dan fungsi remaja masjid bisa dijadikan solusi untuk menanggulangi krisis pustakawan yang beroperasi di perpustakaan masjid. Tentunya, mereka harus diberikan pelatihan dan keterampilan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perpustakaan. Namun, yang tidak kalah pentingnya dalam membina remaja masjid untuk disiapkan menjadi kader pustakawan perpustakaan masjid adalah pembinaan mental dan karakter mereka, sehingga mereka menjadi pustakawan-pustakawan yang handal dan profesional.
Kader-kader pustakawan masjid yang handal dan professional, harus memiliki sikap dengan konsep AKSI, yaitu :
1. Aktif ; Seorang pustakawan dituntut untuk selalu aktif dalam menjalankan tugasnya sebagai pustakawan masjid. Motivasi dan arahan dari pengelola/ takmir masjid/ pemerintah atau para tokoh agama bisa tercapainya hal ini.
2. Kreatif ; Wajah perpustakaan yang tidak bersih, indah, dan nyaman bisa menggangu ketenangan pengunjung perpustakaan. Oleh karena itu, kreatifitas pustakawan sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan perpustakaan yang kondusif.
3. Simpatik ; Pelayanan kepada pengguna jasa perpustakaan yang dilakukan dengan sepenuh hati akan memikat hati mereka untuk sering mengunjungi perpustakaan. Oleh karenanya, sikap sopan santun dan bertutur kata yang halus, mutlak dimiliki oleh setiap pustakawan masjid.
4. Inovatif ; Persaingan yang terjadi antara perpustakaan diberbagai tempat dan daerah sangat ketat. Sehingga, setiap pengurus dan pengelola harus memiliki terobosan-terobosan baru untuk menghidupkan dan memerdayakan perpustakaan masjid. Pelatihan atau workshop mengenai organisasi dan manajemen perpustakaan wajib diikuti oleh para kader pustakawan masjid.
MENJADIKAN MASJID SEBAGAI PUSAT BACA
Masjid adalah jantung umat. Masjid adalah salah satu pilar meretas kebangkitan umat selain pesantren dan kampus. Keberadaan masjid merupakan poros aktivitas keagamaan di masyarakat. Masjid diharapkan pula menjadi mitra Lembaga pendidikan formal (sekolah) yang memiliki kepedulian terhadap masa depan generasi yang akan datang. Jumlah masjid di Indonesia mencapai lebih dari 700 ribu dan merupakan jumlah terbesar di dunia. Namun bila dicermati, kondisi kaum muslimin saat ini dimana masjid belum difungsikan secara optimal.
Alangkah indahnya jika sekitar 700.000 masjid di Indonesia dapat memberikan jawaban riil atas berbagai permasalahan umat. Setiap kumandang adzan mengalirkan kerinduan umat untuk datang mendekat seperti layaknya fungsi jantung bagi darah. Masjid seharusnya dapat dioptimalkan fungsinya sebagai ruang publik dan pusat peradaban umat. Pemberdayaan perpustakaan masjid merupakan salah satu upaya meningkatkan minat baca masyarakat. Perpustakaan masjid merupakan perpustakaan komunitas yang sangat mudah dijangkau oleh masyarakat sehingga menjadi pusat baca dan sarana mencerdaskan umat. Sejarah keemasan Islam sendiri mencatat dengan tinta emas bagaimana masjid dengan perpustakaannya menjadi pusat pencerahan dan pencerdasan umat.
Di masa pemerintahan Khalifah al-Makmum, beliau merekonstruksi masjid yang tidak terpisah dengan perpustakaan. Di Andalusia saja, pada abad ke-10 terdapat sekitar 20 perpustakaan. Salah satunya, yaitu perpustakaan umum Cordova, telah mampu menyediakan 400.000 judul buku. Padahal, pada empat abad berikutnya, sebuah perpustakaan yang terlengkap di Eropa pada Gereja Canterbury hanya mampu menyediakan 1.800 judul buku. Bahkan, perpustakaan umum di Tripoli mampu menyediakan tiga juta judul buku dan 50.000 eksemplar al-Quran berikut tafsirnya pada abad yang sama. Kini umat Islam ditantang dan bertanggungjawab menjadikan kembali perpustakaan berbasis masjid sebagai media pencerahan dan perncerdasan umat. Perpustakaan masjid merupakan perpustakaan umum yang berada di lingkungan masjid. Koleksi umumnya diutamakan buku-buku ilmu keagamaan (Agama Islam). Bila dipersentasekan, sekitar 60 persen koleksi perpustakaan masjid diisi koleksi ilmu pengetahuan tentang agama islam dan 40 persen berisikan koleksi tentang ilmu-ilmu teknologi.
Sedangkan sasaran yang akan dicapai melalui perpustakaan masjid itu, antara lain untuk memantapkan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan juga kecakapan serta keterampilan untuk meningkatkan taraf hidup di berbagai bidang kehidupan melalui ilmu pengetahuan. Perpustakaan masjid yang ideal seharusnya menjalankan fungsi-fungsi perpustakaan. Fungsi perpustakaan tersebut yaitu sebagai tempat mengumpulkan koleksi baik buku, majalah maupun bentuk koleksi lainnya, mendata koleksi yang masuk, mengkategorikan koleksi kedalam kelompok yang sesuai, menyusun koleksi di rak koleksi sesuai dengan pengelompokkannya agar mudah diakses oleh pengunjung, memelihara dan menjaga kondisi fisik koleksi, mengatur distribusi (peminjaman dan pengembalian) koleksi dan menyediakan fasilitas tambahan lainnya yang mendukung kenyamanan pengunjung.
Selain itu perpustakaan juga seharusnya berfungsi sebagai penyelenggara kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan minat baca-tulis pengunjungnya, antara lain menggelar event pameran dan bedah buku. Dengan kata lain, perpustakaan masjid tidak sekedar tempat senggang menunggu waktu sholat, tetapi menampilkan perpustakaan sebagai sarana berkomunikasi, baik dengan sesama jamaah maupun dengan pustakawan, atau menghadirkan pakar dalam mencari tahu sesuatu yang belum dipahami. Namun nasib perpustakaan masjid selama ini masih jauh dari yang diharapkan karena dikelola ala kadarnya. Lemahnya SDM menjadi kendala bagi perpustakaan masjid. Banyak buku-buku di perpustkaan masjid tetap susah diakses oleh masyarakat. sudah saatnya kini dipikirkan pengelolaan perpustakaan masjid yang lebih baik dan lebih efektif.




KESIMPULAN
Jadi, pembahasan dari awal hingga akhir tulisan ini memang tidak ada menyentuh kepada hukum yang mutlak, karena penulis tidak menemukan hukum yang tepat kepada bagaimana dengan masjid tua dijadikan perpustakaan. Penulis hanya menyinggung kepada bagaimana masjid pada zaman Rasulullah saw, dilihat dari kemaslahatannya, peran dan fungsi masjid dalam Islam, mengoptimalkan peran remaja masjid dan menjadikan masjid sebagai pusat baca atau tempat untuk menimba ilmu, karena menimba ilmu bukan hanya di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi.
Pada masa Rasulullah saw tidak ada masjid dijadikan perpustakaan, yang ada hanyalah masjid beralih fungsi. Contohnya seperti Rasulullah saw dulu pernah menjadikan masjid sebagai latihan militer, Tempat latihan perang. Rasulullah saw mengizinkan ‘Aisyah menyaksikan dari belakang beliau orang-orang Habasyah berlatih menggunakan tombak mereka di Masjid Rasulullah pada hari raya, pernah juga dijadikan balai pengobatan tentara muslim yg terluka. Sa’d bin Mu’adz terluka ketika perang Khandaq maka Rasulullah mendirikan kemah di masjid, pernah juga dijadikan tempat tinggal sahabat yg dirawat, Tempat menerima tamu. Ketika utusan kaum Tsaqif datang kepada Nabi saw beliau menyuruh sahabatnya untuk membuat kemah sebagai tempat perjamuan mereka, pernah juga dijadikan tempat penahanan tawanan perang. Tsumamah bin Utsalah seorang tawanan perang dari Bani Hanifah diikat di salah satu tiang masjid sebelum perkaranya diputuskan dan Pengadilan. Juga Rasulullah saw menggunakan masjid sebagai tempat penyelesaian perselisihan di antara para sahabatnya.








REFERENSI

http://www.mail-archive.com/assunnah@yahoogroups.com/msg00167.html

http://dewandakwahjakarta.or.id/index.php/buletin/juni/148-juni10.html
http://komunitasamam.wordpress.com/2011/01/31/memberdayakan-masjid/
http://blog.re.or.id/menghidupkan-kembali-risalah-masjid.htm)
http://ikatanwargaislaminalum.com/index.php?option=com_content&view=article&id=217:masjid-di-zaman-rasulullah-saw&catid=35:artikel-islam&Itemid=56